Isu strategis penting dalam pembangunan ekonomi di masyarakat adalah melakukan upaya pengembangan kemampuan kewirausahaan. Selain itu, isu lain yang tak kurang strategisnya adalah upaya pemenuhan teknologi yang memadai dan berkelanjutan bagi para calon pengusaha agar mampu mengakses pasar, informasi, keuangan dan manajemen. “Kedua isu itu harus dipertemukan dalam wujud technopreuner, yaitu pengembangan wirausaha berbasis teknologi,” ujar Dr. Bambang S. Pujantiyo, Kepala Balai Inkubator Teknologi (BIT) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Technopreuner juga diartikan sebagai peningkatan temuan dan inovasi dengan berbagai cara yang mampu mengaitkan strategi transfer teknologi dengan kemampuan kewirausahaan. Salah satu media pengembangan wirausaha berbasis teknologi yang difasilitasi negara melalui BPPT dengan BIT-nya.
Dalam paparannya, Bambang menyatakan BIT memiliki peran dan fungsi dalam melahirkan technopreneur yang inovatif. Artinya akan melahirkan para pelaku wirausaha yang mengoptimalkan teknologi dalam proses produksinya, sehingga bukannya hanya efisien, namun produk yang dihasilkan pun akan memiliki nilai dan kualitas lebih. “Melalui proses inkubasi yang intensif dan teruji, maka para technopreuner akan lahir dari program yang kami jalankan,” ujar Bambang kepada Majalah GAGAS. Berikut petikan wawancaranya.
Apa alasan pencanangan program perwujudan technopreunersip ini?
Angka pengangguran di Indonesia dari masa ke masa terus mengalami peningkatan, ironinya lagi peningkatan angka pengangguran itu terjadi pada level pendidikan tinggi, atau yang biasa kita kenal dengan pengangguran intelektual (pengangguran terdidik). Jumlah pengangguran jenis ini telah mencapai angka 1.132.751 orang pada bulan September 2011, naik sekitar 15,71 persen dibandingkan tahun 2010. Pada sisi lain, saat ini, jumlah wirausahawan yang diharapkan akan menjadi pelaku industri inovatif di Indonesia baru mencapai 0,26% dari total penduduk Indonesia. Mereka ini sesungguhnya adalah orang-orang yang menjalankan technopreunership sebagaimana yang menjadi visi dan tujuan dari lembaga kami. Ingat, mereka bukanlah enterpreuner kebanyakan, tetapi mereka adalah enterpreuner yang menggunakan basis teknologi dalam pengembangan usahanya.
Idealnya berapa jumlah para technopreuner ini?
Paling tidak harus ada sekitar 2% para pelaku wirausaha yang berbasis teknologi. Sedangkan jumlah ideal yang diharapkan, agar mampu mendukung perekonomian nasional minimal 4 persen dari total penduduk. Merekalah yang sejatinya akan mampu membawa perubahan fundamental bagi kesejahteraan bangsa ini. Coba saja bandingkan dengan Malaysia yang jumlah tecnopreuner-nya sudah mencapai 3%, Singapura 7,2%, dan Amerika Serikat yang sudah mencapai 11,5%.
Apa solusi untuk meningkatkan pertumbuhan jumlah technopreuner di negeri ini?
Yang utama adalah ubah mindset berpikir masyarakat kita. Jangan maunya cari kerja saja, tetapi mereka juga harus dilatih untuk menciptakan pekerjaan. Dan kalaupun mereka berbisnis, cobalah dengan memanfaatkan teknologi.
Tetapi bukankah pihak Kementerian Negara Koperasi dan UKM sudah memelopori program-program kewirausahaan ini?
Betul, namun yang harus diingat, kita ingin wujudkan technopreuner, bukan wirausahawan biasa. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah wirausahawan di Indonesia ini berkisar 54 jutaan. Itu termasuk tukang rokok, bakso, warung-warung nasi, pedagang atau tukang kelontongan dan lain-lain. Sekarang ini yang kita kemumandangkan adalah enterpreunership yang sesungguhnya, bukan wirausahawan yang berdasarkan data sejumlah 54 jutaan itu. Ide kami ini adalah technopreuner yang mengoptimalkan teknologi untuk proses produksinya.
Bagaimana Anda menjalankan program technopreuner ini?
Salah satunya adalah dengan membangun inkubator yang berbasis teknologi (Inkubator Bisnis Teknologi). Kenapa namanya inkubator teknologi? Karena selama ini, kalau sudah menjumpai kata-kata teknologi, biasanya menjadi tanda tanya bagi para pengusaha. Biasanya, para pengusaha sudah “takut” duluan sama yang namanya teknologi, kesannya mahal. Sama juga dengan teknologi sekarang, kiprah dari para ilmuwan itu yang penting dapat gelar profesor, insinyur, master, doktor, dan lain-lain, tidak penting itu mau teknologi atau bukan.
Saya sekarang juga bicara sama Kementerian Riset dan Teknologi, supaya bisa merubah paradigma itu, karena yang terjadi saat ini, para peneliti di bidang teknologi itu akan mendapatkan “kum” atau nilai jika ia mampu menulis di jurnal-jurnal ilmiah terakreditasi. Ini yang menurut saya harus diubah. “Kum” itu bisa tinggi, apabila mereka mampu mengapilkasikan temuan teknologinya untuk kepentingan industri dan enterpreunership. Jadi amat jelas kemanfaatan “kum” yang diraihnya untuk menunjang kesejahteraan masyarakat secara hakiki. Sayangnya, hingga sekarang ini belum ada “kum” yang seperti itu. Itulah yang harus dibenahi. Yang terhormat itu adalah sebuah hasil penelitian teknologi yang temuannya dapat dimanfaatkan oleh industri. Teknologi tidak bisa diterapkan dalam industri. Bukan pajangan, bukan laporan, bukan yang kita lihat di perpustakaan.
Kongkretnya, apa saja yang telah dilakukan pemerintah dalam memfasilitasi proses terwujudnyatechnopreuner di negeri in?
Sebelum terbentuknya Balai Inkubator Teknologi (BIT), sudah terdapat kurang lebih 30 inkubator, tetapi semuanya tidak berjalan optimal. Negara langsung yang mendanai inkubator-inkubator itu.Nah, untuk mengoptimalkan inkubator-inkubator itu, di sinilah letak peran BPPT yang didukung Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Caranya dengan berupaya mengembangkan wirausaha berbasis industri inovatif melalui kegiatan "Technopreneur Camp" sebagai bagian dari program pengembangan inkubator yang dilakukan oleh Balai Inkubator Teknologi (BIT) BPPT.
Instansi mana saja yang dilibatkan dalam kegiatan ini?
BPPT menjalin kerjasama dengan beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki komitmen untuk menciptakan wirausaha berbasis industri inovatif melalui program pengembangan inkubator. Beberapa pemerintah daerah itu adalah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Banten, Pemerintah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Seluma, Gunung Kidul, Pemerintah Kota Tegal, Kota Cimahi, Kota Cilegon”. Juga dengan dua Perguruan Tinggi, yaitu Institut Teknologi Surabaya (ITS) serta Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Apa tujuan penciptaan inkubator di daerah?
BPPT berupaya meningkatkan daya saing dengan cara mendorong pengembangan industri inovatif di daerah. Bagaimana kita bisa bersaing kalau hanya mengandalkan sumber daya alam tanpa adanya inovasi. Banyak buah impor di pasaran yang dapat memberikan dampak buruk terhadap buah lokal jika tidak ada inovasi dalam pemasarannya. Nah, inovasi harus menjadi tradisi dalam masyarakat kita. Salah satu upayanya melalui penguatan daya saing atau penguatan sistem inovasi di daerah. Kami juga bermaksud menjadi lembaga intermediasi dalam menciptakan technopreneurpemula di Indonesia. Hal tersebut diharapkan bisa mengatasi banyaknya pengangguran intelektual di Indonesia yang saat ini jumlahnya mencapai 1.132.751 orang
Sejak dirumuskan pada tahun 1999, gagasan ini dapat dijalankan berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian, baik yang dilakukan oleh Kementerian Ristek, bahkan pemerintah Jerman pun pernah kerjasama dengan kita. Saya kira, lembaga seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) perlu juga memiliki perencanaan untuk memfasilitasi terbentuknya intermeditor, yang tujuannya menyambungkan teknologi dengan industri. Tetapi, selama sistem pendidikan industri di Indonesia ini belum berubah maka gagasan intermediator ini juga akan sulit.
Apa sejatinya fungsi dari inkubator teknologi?
Inkubator teknologi adalah yang mengingkubator hasil temuan teknologi. Selain intermediator ada juga yang namanya “broker” teknologi. Inkubasi teknologi yang kita gunakan melalui tiga tahapan, yaitu pra-inkubasi, masa inkubasi dan pasca inkubasi.
Pra-inkubasi adalah masa persiapan dan sosialisasi program kepada mayarakat. Dalam melakukan aktivitas ini, kami telah melakukan banyak cara untuk mensosialisasikan program brilian ini kepada masyarakat, seluas mungkin. Mulai dari pengadaan workshop, temu bisnis (business gathering), sampai dengan cara ‘sales door to door’, yang tujuannya satu, bagaimana masyarakat tertarik dan antusias mengikuti program BIT. Tahap selanjutnya adalah tahap inkubasi. Di mana setelah semua calon peserta didik sudah memenuhi persyaratan untuk masuk dalam program inkubasi teknologi maka kami akan saring, siapa saja yang sesungguhnya layak untuk diinkubasi. Jadi, inkubasi ini mensinergikan antara teknologi dengan industri, setelah cocok pendanaannya, barulah masuk di integritor produksi masal, ini yang namanya technopreneur camp. Jadi kita menjaring mitra untuk dijadikan inkubasi, sebagaimana yang kami sediakan ruangan dan perangkat kerja lainnya di perkantoran di kawasan Puspiptek Serpong ini. Kami juga mengadakantraining yaitu technopreneur shift, sebuah training untuk melakukan uji produksi. Prinsipnya produk yang diuji itu harus sesuai dengan keinginan konsumen, kalau tidak sesuai, itu namanya bukan produk technopreneur tapi enterpreuner biasa.
Begitu penting makna inovasi dalam gagasan itu?
Oh iya. Kenapa harus inovatif? Karena kita itu mau menuju pasar yang namanya Laut Biru yang artinya belum ada saingan. Kalau Laut Merah itu perang-perangnya adalah perang harga. Contoh sudah ada majalah, kita bikin lagi majalah, otomatis yang timbul di pasar adalah perang harga lama-lama jadi gratis dan akhirnya bangkrut. Jadi secara garis besar, inkubasi itu adalah pabrik kecil yang mana telah dilakukan uji awal terhadap konsumen. Bukan buat pabrik yang besar, jangan salah pengertian.
Ada usaha yang punya dana besar buat pabrik, terus jadi besar, itu mimpi namanya. Yang bagus itu adalah contoh dari produksi Mobil Toyota Avanza terbaru. Pihak pembuatnya hanya memproduksi mobil beberapa unit saja, setelah sampai pasar dan ternyata banyak pemesannya baru mereka melakukan produksi masal. Untuk melahirkan technopreneur baru, kami punya program yang namanya keterkaitan antara A (Akademisi), B (Businessman), dan G (Governtment). Salah satu contoh technopreneur yang telah kami lakukan adalah keberhasilan seorang mahasiswa Fakultas Teknis Universitas Indonesia (UI). Ia lulusan tahun 2006, berbekal skripsi teknik mesin, dia membuat tabung inkubator bagi bayi. Sekarang ini gagasannya sudah nyambung dengan dunia industri, ia sudah jadi milyarder karena gagasannya laku di pasaran.
Sampai kapan gagasan tehcnopreuner ini akan terus “disuarakan” BIT?
Ya terus saja disuarakan ke seluruh kalangan terkait. Technopreneur itu sebenarnya berarti pebisnis berbasis teknologi, sekarang ini yang baru kita suarakan adalah pemanfaatan teknologi saja. Pada tahap berikutnya, kalau sudah membudaya, baru kita bicara disiplin ilmunya. Tahap selanjutnya yaitu berkembang terus, terus dan terus.
DR. BAMBANG S. PUJANTIYO
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)